Lima
kali dalam sehari adzan berkumandang disekitar kita, baik memang terdengar atau
tidak. Tak heran jika panggilan shalat itu terasa sangat biasa bagi kita,
padahal selain fungsi tersebut banyak hal yang bisa kita dapat darinya.
Dulu
ketika duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, sarah selalu menyimak
kumandang adzan dzuhur secara hikmat. Kebetulan sarah bersekolah di sekolah
islam sehingga setiap adzan berkumandang sang guru akan otomatis akan
memberhentikan pelajaran sementara. Hal ini sudah menjadi bagian dari peraturan
sekolah. Anak-anak lantas diajakan bagaimana adzan seharusnya di jawab
Menginjak
SMA, masih di sekolah yang sama, sarah dan teman-temannya sering mempergunakan
kesempatan untuk memejamkan mata, beristirahat sejenak dari konsentrasi
terhadap pelajaran. Kadang mereka malah tertidur, entah karena terbuai
merdunnya suara adzan atau karena lelah hampir sepanjang hari menghadapi angka
dan rumus. Maklum kelas mereka adalah kelas IPA, dimana hampir delapan puluh
persen pelajarannya berkaitan dengan angka.
Sepuluh
tahun berlalu kini sarah bekerja sebagai konsultan junior di sebuah kantor
konsultan. Ia sangat bersyukur mendapatkan tempat kerja yang kondusif. Sebagian
besar karyawan seideologi dengannya,
fasilitas kantor juga menyediakan musholla secara khusus, tidak sekedar
ada, sehingga sebagai seorang muslimah sarah bisa menunaikan kewajibanya dengan
nyaman.
Berada
dilantai dua puluh sebuah gedung pencakar langit, suara adzan tidak terdengar
dikantor sarah. Beruntung secara inisiatif pengurus musholla yang juga
coordinator office boy dikantor itu
selalu mengumandagkan adzan setiap kali masuk waktu shalat. Sayangnya berbeda
dengan sepuluh tahun lalu, sarah tidak selalu sadar adanya adzan yang
berkumandang. Bahkan sering kali ia merasa tidak mendengar bahwa adzan telah
berkumandang. Masuknya waktu shalat diketahuinya dari jam di meja atau di
dinding.
Meski
hafal diluar kepala jam beberapa saja waktu shalat dimulai, kini sarah tidak
lagi secara otomatis bersiap diri begitu tahu saatnya shalat. Lembaran fakta,
klien, tamu, telepon rapat, hampir setiap hari pembuatnya menunaikan shalat
nyaris dibatas habisnya waktu jadi jangan kan menikmati adzan secara hikmat,
menyadari bahwa adzan telah berkumandang saja kin menjadi sangat sulit bagi sarah,
meskipun suara iu jelas terdengar dari ujung ruanganya. Pikiran terlalu penuh
dengan berbagai hal yang harus dituntaskan segera.
Suatu
kali ditengah rapat yang dihadiri oleh hampir seluruh tim dikantornya,
tiba-tiba sarah dikejutkan dengan suara adzan . diliriknya jam diatas wwhite
board yang terpampang diujung ruang rapat, pukul 12.00 ia merasa heran, “Ternyata
adzan orang yang adzan disini,” pikirannya. Tapi mengapa selama ini ia tidak
pernah mendengarnya.
Seketika
itu juga perasaan aneh menghinggapinya, pikirannya terhisap kemasa sepuluh
tahun silam. Dimana saat ni biasanya ia dan teman-teman serta gurunya akan
berdiam sejenak, mendengarkan adzan dan sedikit tertidur. Lalu tak sampai
sepuluh menit setelah itu anak-anak akan segera keluar kelas. Mengambil air
wudhu lalu menuju masjid yang memang ada dilingkunagan sekolah, bersiap untuk
solat berjamaah.
Bagaimana
dengan sekarang? Saat ini ia ada di tengah rapat yang terus berlangsung.
Pertanyaan dan saran datang silih berganti. Semua orang yang ada disana,
kecuali dirinya, seakan tidak mendengar suara adzan itu. Sang pemimpin rapat
terus membuka berkas-berkas yang harus mereka bahas. Jarum jam merangkak menuju
angka satu,setengah dua, dua lebih lima belas menit meni. Akhirnya rapat usai
juga. Seisi ruangan menghambur keluar. Ada yanga kembali kemejanya, ada yang
langsung angkat telepon, dan ada juga yang sama seperti sarah, terburu-buru
menuju musola!
Dalam
mobil sepanjang perjalanan pulang tak urun sarah merenung. Selama ini ia
dibesarkan dilingkunagan keluaraga yang peduli terhadap kehidupan beragama.
Sekolah disekolah islam, aktif dalam kegiatan rohis di masjid kampus, dan
bekerja dikantor yang mayoritas karyawannya muslim. Semuanya terasa hamper
sempurna, kecuali satu hal. Ia merasa justru semakin jauh dari ketaatan
sebagaiana seharusnya seorang muslim berlaku.
Adzan,
bukan hanya sarana untuk memberi tahu bahwa waktu shalat telah tiba. Lebih dari
itu ia bisa menjadi sebagai weker, pengatur jadwal kehidupan kita. Sarah merasa
sudah seharunya ia mengarahkan semua kegiatanya agar selesai sebelum masuk
waktu shalat. Mengatur jadwal sedemikian rupa dan berusaha sekuat tenaga
menaati, menepati jadwal yang dibuat itu. Sehingga ketika adzan berkumandang ia
sudah bisa berada di musholla atau paling tidak sudah mencapai tempat wudlu.
Hal
ini bukan mustahil dilakukan jika saja ia merasa disiplin memulai semua
aktifitasnya pada pagi hari, dan disiplin memulai pekerjaannya serta mengatur
jadwal sedemikian rupa, tidak ambisius membuat beberapa janji pertemuan sekaligus,
ia pasti bisa tepat waktu menepati kewajibannya datang pada sang khalik.
Menikmati suara adzan, terlelap sejenak, melupakan berbagai permasalahan,
berdoa dan memohon tuntunannya, untuk setelah itu segera kembali menghadapi
masalah dan menuntaskannya.
Membayangkan
itu semua sarah tidak bisa memaafkan dirinya atas kejadian minggu lalu .tepat
pada libur 17 agustus, ia menerima ajakan temannya untuk pergi nonton ke mol.
Berangkat dari rumah jam sepuluh, mereka tiba di tempat tujuan setengah jam
kemudian, sepinya jalan dihari libur memang membuat perjalanan menjadi lebih
cepat. Karena libur pula pemutaran film di bioskop mol itu mulai lebih dini,
dan sarah setuju mengambil tiket pada pemutaran pertama, pukul 12.00, tanpa
berfikir panjang.
Film
dimulai setelah sebelumnya penonton diminta berdiri untuk menghormati
pengibaran sang saka Merah Putih diiringi Lagu Indonesia Raya yang ditampilkan
oleh layar lebar di depan mereka. Dua jam setengah kemudian film berakhir. Sarah dan temannya
keluar dari bioskop, pergi mencari mushola yang terletak jauh kebawah mal megah
tersebut .
Sesampainya
disana, waktu ashar telah tiba dan ia telah kehilangan satu waktu untuk
berdialog dengan sang khalik. Sungguh ia merasa lalai karena tidak berusaha
mendengarkan adzan. Padahal di ruang bioskop tadi, ia secara hikmat menyediakan
secara lima menit waktu nya berdiri demi menghormati pengibaran merah putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar