Jumat, 23 November 2012

“Rahasia dibalik suara Adzan”


Lima kali dalam sehari adzan berkumandang disekitar kita, baik memang terdengar atau tidak. Tak heran jika panggilan shalat itu terasa sangat biasa bagi kita, padahal selain fungsi tersebut banyak hal yang bisa kita dapat darinya.
Dulu ketika duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, sarah selalu menyimak kumandang adzan dzuhur secara hikmat. Kebetulan sarah bersekolah di sekolah islam sehingga setiap adzan berkumandang sang guru akan otomatis akan memberhentikan pelajaran sementara. Hal ini sudah menjadi bagian dari peraturan sekolah. Anak-anak lantas diajakan bagaimana adzan seharusnya di jawab
Menginjak SMA, masih di sekolah yang sama, sarah dan teman-temannya sering mempergunakan kesempatan untuk memejamkan mata, beristirahat sejenak dari konsentrasi terhadap pelajaran. Kadang mereka malah tertidur, entah karena terbuai merdunnya suara adzan atau karena lelah hampir sepanjang hari menghadapi angka dan rumus. Maklum kelas mereka adalah kelas IPA, dimana hampir delapan puluh persen pelajarannya berkaitan dengan angka.
Sepuluh tahun berlalu kini sarah bekerja sebagai konsultan junior di sebuah kantor konsultan. Ia sangat bersyukur mendapatkan tempat kerja yang kondusif. Sebagian besar karyawan seideologi dengannya,  fasilitas kantor juga menyediakan musholla secara khusus, tidak sekedar ada, sehingga sebagai seorang muslimah sarah bisa menunaikan kewajibanya dengan nyaman.
Berada dilantai dua puluh sebuah gedung pencakar langit, suara adzan tidak terdengar dikantor sarah. Beruntung secara inisiatif pengurus musholla yang juga coordinator office boy dikantor itu selalu mengumandagkan adzan setiap kali masuk waktu shalat. Sayangnya berbeda dengan sepuluh tahun lalu, sarah tidak selalu sadar adanya adzan yang berkumandang. Bahkan sering kali ia merasa tidak mendengar bahwa adzan telah berkumandang. Masuknya waktu shalat diketahuinya dari jam di meja atau di dinding.
Meski hafal diluar kepala jam beberapa saja waktu shalat dimulai, kini sarah tidak lagi secara otomatis bersiap diri begitu tahu saatnya shalat. Lembaran fakta, klien, tamu, telepon rapat, hampir setiap hari pembuatnya menunaikan shalat nyaris dibatas habisnya waktu jadi jangan kan menikmati adzan secara hikmat, menyadari bahwa adzan telah berkumandang saja kin menjadi sangat sulit bagi sarah, meskipun suara iu jelas terdengar dari ujung ruanganya. Pikiran terlalu penuh dengan berbagai hal yang harus dituntaskan segera.
Suatu kali ditengah rapat yang dihadiri oleh hampir seluruh tim dikantornya, tiba-tiba sarah dikejutkan dengan suara adzan . diliriknya jam diatas wwhite board yang terpampang diujung ruang rapat, pukul 12.00 ia merasa heran, “Ternyata adzan orang yang adzan disini,” pikirannya. Tapi mengapa selama ini ia tidak pernah mendengarnya.
Seketika itu juga perasaan aneh menghinggapinya, pikirannya terhisap kemasa sepuluh tahun silam. Dimana saat ni biasanya ia dan teman-teman serta gurunya akan berdiam sejenak, mendengarkan adzan dan sedikit tertidur. Lalu tak sampai sepuluh menit setelah itu anak-anak akan segera keluar kelas. Mengambil air wudhu lalu menuju masjid yang memang ada dilingkunagan sekolah, bersiap untuk solat berjamaah.
Bagaimana dengan sekarang? Saat ini ia ada di tengah rapat yang terus berlangsung. Pertanyaan dan saran datang silih berganti. Semua orang yang ada disana, kecuali dirinya, seakan tidak mendengar suara adzan itu. Sang pemimpin rapat terus membuka berkas-berkas yang harus mereka bahas. Jarum jam merangkak menuju angka satu,setengah dua, dua lebih lima belas menit meni. Akhirnya rapat usai juga. Seisi ruangan menghambur keluar. Ada yanga kembali kemejanya, ada yang langsung angkat telepon, dan ada juga yang sama seperti sarah, terburu-buru menuju musola!
Dalam mobil sepanjang perjalanan pulang tak urun sarah merenung. Selama ini ia dibesarkan dilingkunagan keluaraga yang peduli terhadap kehidupan beragama. Sekolah disekolah islam, aktif dalam kegiatan rohis di masjid kampus, dan bekerja dikantor yang mayoritas karyawannya muslim. Semuanya terasa hamper sempurna, kecuali satu hal. Ia merasa justru semakin jauh dari ketaatan sebagaiana seharusnya seorang muslim berlaku.
Adzan, bukan hanya sarana untuk memberi tahu bahwa waktu shalat telah tiba. Lebih dari itu ia bisa menjadi sebagai weker, pengatur jadwal kehidupan kita. Sarah merasa sudah seharunya ia mengarahkan semua kegiatanya agar selesai sebelum masuk waktu shalat. Mengatur jadwal sedemikian rupa dan berusaha sekuat tenaga menaati, menepati jadwal yang dibuat itu. Sehingga ketika adzan berkumandang ia sudah bisa berada di musholla atau paling tidak sudah mencapai tempat wudlu.
Hal ini bukan mustahil dilakukan jika saja ia merasa disiplin memulai semua aktifitasnya pada pagi hari, dan disiplin memulai pekerjaannya serta mengatur jadwal sedemikian rupa, tidak ambisius membuat beberapa janji pertemuan sekaligus, ia pasti bisa tepat waktu menepati kewajibannya datang pada sang khalik. Menikmati suara adzan, terlelap sejenak, melupakan berbagai permasalahan, berdoa dan memohon tuntunannya, untuk setelah itu segera kembali menghadapi masalah dan menuntaskannya.
Membayangkan itu semua sarah tidak bisa memaafkan dirinya atas kejadian minggu lalu .tepat pada libur 17 agustus, ia menerima ajakan temannya untuk pergi nonton ke mol. Berangkat dari rumah jam sepuluh, mereka tiba di tempat tujuan setengah jam kemudian, sepinya jalan dihari libur memang membuat perjalanan menjadi lebih cepat. Karena libur pula pemutaran film di bioskop mol itu mulai lebih dini, dan sarah setuju mengambil tiket pada pemutaran pertama, pukul 12.00, tanpa berfikir panjang.
Film dimulai setelah sebelumnya penonton diminta berdiri untuk menghormati pengibaran sang saka Merah Putih diiringi Lagu Indonesia Raya yang ditampilkan oleh layar lebar di depan mereka. Dua jam setengah  kemudian film berakhir. Sarah dan temannya keluar dari bioskop, pergi mencari mushola yang terletak jauh kebawah mal megah tersebut .
Sesampainya disana, waktu ashar telah tiba dan ia telah kehilangan satu waktu untuk berdialog dengan sang khalik. Sungguh ia merasa lalai karena tidak berusaha mendengarkan adzan. Padahal di ruang bioskop tadi, ia secara hikmat menyediakan secara lima menit waktu nya berdiri demi menghormati  pengibaran merah putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar