Senin, 10 Desember 2012

Tenaga Kerja Indonesia “On Sale”


Pada akhir-akhir ini Indonesia cukup di hebohkan dengan pemberitaan di berbagai media mengenai iklan “Tenaga Kerja Indonesia (TKI) on Sale” yang tersebar di beberapa kawasan Malaysia. Iklan twersebut bertuliskan “ Indonesia Maids Now Sale” dalam selebaran itu pula dijelaskan bahwa TKI dibeli dengan harga sekitar 7.500 ringgit Malaysia (RM) atau setara dengan diskon 40 persen dari tarif yang telah ditentukan oleh pemerintah. Jika warga Malaysia yang ingin menggunakan jasa TKI. Calon pengguna bisa menyetor deposit sebelumnya. Berdasarkan atas iklan yang beredar ini tentunya mengundang berbagai reaksi dari berbagai pihak baik di Indonesia maupun di Malaysia sendiri.
            Seperti yang telah diungkapkan oleh Anis Hidayah Direktur Eksekutif Migrant Care Indonesia pada salah satu Program televisi (30 Oktober 2012) yang lalu, kejadian ini disesalkan karena dinilai merendahkan martabat bangsa Indonesia. Manusia Indonesia yang bekerja di Malaysia seolah dianggap sebagai komoditas  atau barang dagangan yang mudah diperjual belikan terlebih dengan status “diobral”. Apa yang diungkapkan Anis nampaknya tidak berlebihan bila melihat faktanya yang beredar di media.
            Dalam bidang perlindungan tenaga kerja diluar negeri hal seperti ini jelas merugikan dan merusak nama baik bangsa. Pengajjuan protes keras ke Malaysia adalah hal yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar segera mengentikan iklan yang tidak bermartabat tersebut.
            Konflik Indonesia-Malaysia berkenaan dengan penggunaan jasa TKI memang bukan baru kali ini terjadi. Sepanjang kerja sama terjalin antara kedua negara serumpun ini rentetan konflik terus terjadi dan dikhawatirkan akan mengancam hubungan diplomasi Indonesia-Malayasia. Sebut saja beberapa waktu yang lalu kasus kematian tiga TKI asal Nusa Tenggara Barat yang ditembak oleh polisi Malaysia. Sementara itu di dalam negeri sendiri pernah diramaikan dengan unjuk rasa permohonan agar TKI di Malaysia tidak dihukum mati karena kasus pembunuhan yang dilakukan untuk pembelaan terhadap majikan.
            Indonesia juga termasuk produsen buruh migran terbessar dalam lingkup Asia Tenggara. Salah satu negara tujuannya para migran tersebut adalah Malaysia. Di Malaysia sendiri terdapat sekitar dua juta tenaga kerja Indonesia termasuk yang melalui proses ilegal.
            Beberapa hal yang menjadi alasan kuat mengapa negara Malaysia menjadi salah satu negara tujuan. Diantaranya, pola kultural dan bahasa yang tidak jauh berbeda antara Indonesia dan Malaysia jadi mempermudah proses adaptasi para pekerja, sehingga tidak akan terjadi cultural shock yang berarti. Selain itu ada kemudahan akses untuk masuk ke negara Malaysia yang tidak dikenakan biaya visa dan jarak yang tidak terlalu jauh dengan Indonesia menjadi salah satu alasan sehingga jika ingin pulang tidak diperlukan biaya yang cukup mahal. Dan satu lagi hal yang sangat menjanjikan adalah banyaknya lapangan kerja yang ditawarkan pihak Malaysia dengan upah yang lebih tinggi selain bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT).
            Semoga pasca beredarnya iklan obral TKI akan menjadi evaluasi besar bagi pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan para pahlawan devisa negara. Menjadikan TKI ynag berada di luar negeri memiliki martabat di mata negara penggunaan jasa TKI. Tidak hanya itu pemerintah sekiranya dapat berfikir lebih bijak lagi untuk dapt menciptakan dan mengembangkan lapangan kerja didalam negeri sehingga masyarakat kita akan menjadi kaya di negeri sendiri. Satu hal yang harus kita ingat kekayaan alam Indonesia sungguh lebih kaya dari pada Malaysia. Jika kita mampu mengelolanya dengan baik maka tidak mustahil kekayaan tersebut mampu menghidupi dan memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat Indonesia. Diharapkan dengan sumber daya alam yang tersedia serta kualitas manusia Indonesia menjadi lebih kreatif, sudah sepatutnya kita dapat menujukan jati diri kita yang sesungguhnya kepada dunia, sehingga harga diri bangsa tidak dijadikan komoditi bahkan “diobral” murah oleh bangsa lain. (Iin Nuraeni)

Selasa, 04 Desember 2012

Memahami Basyar, Abdun dan Khalifah



Pengertian Basyar
Bila dilihat secara keseluruhan ayat-ayat Al-Quran yang mengungkapkan tentang kata basyar, semuanya menunjukkan pada gejala umum yang nampak pada fisiknya, atau lahiriahnya, yang secara umum antara satu dengan yang lainnya mempunyai persamaan, terutama anatomi-anatomi yang tampak kelihatan oleh yang lain. Meskipun ada perbedaan, tetapi perbedaan itu tidak menyangkut hal-hal yang substansial, namun hanya menyangkut masalah-masalah kecil yang tidak banyak mempengaruhi terhadap fungsi dan eksistensinya selaku manusia.
Dengan melihat pada konteks penggunaan kata basyar dalam Alquran tersebut, maka dapat ditarik pengertian bahwa kata basyar menunjukkan pengertian manusia dalam kaitannya yang melibatkan tubuhnya, yang tampak pada luarnya, yang bergerak dan berjalan-jalan. Manusia secara fisik tubuh kuat karena makan dan minum dari apa yang ada di bumi ini, sehingga memungkinkan manusia mempunyai kekuatan untuk mewujudkan gagasan-gagasannya dalam ruang dan waktu tertentu.
Pengertian basyar, tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari, yang berhubungan dengan aktivitas lahiriah, yang tentunya dipengaruhi dan mendapatkan dorongan kodrat alamiahnnya, seperti makanan, minuman, bersetubuh dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan sesuatu yang berhubungan dengan lahiriah, dimana kegunaannya untuk melanggengkan eksistensi tubuh/diri manusia itu sendiri.
Oleh karenanya, melalui aktivitas basyariahnya, yaitu aktivitas tubuhnya, maka gagasan dan pemikiran manusia dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, yaitu bentuk-bentuk sebagai hasil karya dan cipta manusia, yang menempati ruang tertentu, dapat diraba dan difoto, seperti lukisan, tari-tarian dan kegiatan mengolah besi pada industri logam maupun menggali pertambangan atau membuat bangunan.
Kalau dihubungkan dengan pemakaian kata insan, maka basyar jelas menunjukkan konteks yang berbeda, meskipun sama-sama menunjukkan pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan, adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sementara kata basyar menun-jukkan manusia sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang tampak pada aktivitas fisiknya (Asy’ari, 1992: 34)
Kata insan dan basyar yang dipakai dalam Alquran untuk sebutan manusia, bukan berarti menunjukkan adanya dua jenis manusia, akan tetapi kata insan dan ba-syar pada dasarnya menunjuk pada manusia yang tunggal dengan bi-dimensionalnya (dua dimensi), dimensi insan pada kapasitas akalnya dan dimensi basyar pada ka-pasitas tindakannya. Oleh karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, kedua sisi gagasan – pemikiran dan kesadaran – dan tindakan hampir tidak bisa dipisahkan, dan jika karena sesuatu hal gagasan dan tindakan itu dipisahkan, maka terlihat manusia berada dalam konflik kepribadian. Kepribadian yang berada dalam konflik tersebut, seringkali disebut pribadi yang tak seimbang atau berkepribadian ganda, sehingga menimbulkan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan sia-sia.
Dalam lapangan etika, makna sebuah tindakan ditentukan oleh kesatuannya dengan akal, karena tindakan yang lahir dari gagasan akal adalah tindakan yang sudah diperhitungkan akibat-akibatnya dan dengan sendirinya juga kesediaan memikul tanggungjawab dan menerima sanksi etika bahkan hukum. Sebaliknya, tindakan yang terlepas dari gagasan akalnya, seperti gerak reflektif, menggaruk karena gatal atau tindakan yang muncul karena pikirannya tidak bekerja seperti orang gila atau tidak sadar, maka tindakannya tidak bisa dinilai dari sudut etika.
Kata basyar dipakai dalam Alquran sangat terbatas, antara lain untuk menunjukkan manusia pada umumnya seperti yang tampak pada fisiknya yang bergantung sepenuhnya pada makan dan minum dari apa yang ada di bumi (Alquran Surat 23: 33). Dengan melihat konteks penggunaan kata basyar dalam Alquran, maka dapat disimpulkan bahwa sebetulnya kata basyar menunjukkan pengertian manusia dalam hubungannya dengan perbuatan yang melibatkan tubuhnya, yang tampak pada luarnya, yang bergerak dan berjalan-jalan.
Manusia secara fisik tumbuh kuat karena makan dan minum dari apa yang ada di bumi ini, sehingga manusia mempunyai kekuatan untuk merealisasikan kehendak dan keinginannya. Maka bila diteliti dari arah ini, sebetulnya manusia merupakan bagian dari alam materi, dan oleh karena itu ia tunduk dan patuh pada kehendak dan hukum-hukum alam atau sunnatullah.



Pengertian Abdun
barangsiapa ingin memperdalam pengetahuan dan fahamnya tentang isi al-Quran itu, hendaknya lebih dahulu faham benar erti dan maksud keempat istilah tersebut. Dan barangsiapa belum faham akan difinisi alllah, ar-Rabb, al-lbadah dan ad-din itu, maka dia akan menganggap al-Quran itu sebagai buku cerita dari manusia zaman dahulu. Kerananya, sulit baginya untuk melaksanakan Dinul-Lah (agama Allah) itu. Mustahil baginya menjunjung tinggi Kalimatullah. Ini semua, disebabkan kekaburan fahamnya, kerapuhan aqidah dan imannya, kendatipun dia percaya terhadap Allah dan Rasul-rasulNya,
Percaya terhadap para Malaikat dan kitab-kitab suciNya, percaya terhadap hari kiamat dan terhadap Qadha dan QadarNya. Selain itu, dia pun tidak meninggalkan solat lima waktu setiap hari dan rukun-rukun Islam yang lain, serta tidak lupa bahkan selalu berzikir, bertasbih, bertahmid dan bertakbir. Akan tetapi, kerana kabur pandangannya tentang tauhid, maka tanpa sadar dia memperbanyak tuhan, memperbanyak ilah dan rabb dalam kelakuannya sehari-hari. Ia terumbang-ambing oleh situasi dan terkendalikan oleh hawa nafsu dan emosi, serakah, dengki dan lain-lain sikap yang tak terpuji.
 Tanpa sadar, bahwa dia telah melanggar batas-batas tauhid dan terjerumus ke dalam jurang kemusyrikan. Dan alangkah marah meradangnya, sekiranya anda tegur, bahwa dia telah keluar dari Islam, yakni murtad. Keluar dari Dinullah, atau dari Kalimatullah karena telah mempersekutukan Allah, memperbanyak tuhan sebagai sekutu-sekutu Allah dalam Uluhiyah dan RububiyahNya itu. Semua itu disebabkan kekaburannya memahami erti atau maksud dari kata Ilah dan Rabb itu sebagaimana mestinya.
Orang-orang Arab sebelum Islam dan sewaktu Islam mulai datang, semuanya mengerti kedua istilah itu, iaitu al-Ilah dan ar-Rabb. Kedua patah kata atau kedua istilah tersebut, mereka pergunakan dalam percakapan sehari-hari dan pandai juga mempergunakannya. Kiranya untuk siapa diberikan. Apabila di katakan kepada mereka, bahwa bukan Ilah dan bukan Rabb, bukan tuhan dan bukan penguasa selain Allah, serta tiada barang satu pun atau seorang orang pun bersekutu dengan Dia, baik dalam Uluhiyah (Ketuhanan) mahupun dalam Rububiyah (kekuasaan atau wewenang)Nya, maka fahamlah mereka bahwa kedua istilah tersebut adalah sebagai dua gelar atau kedudukan yang dikhususkan untuk Allah s.w.t. Tidak boleh digelarkan ke pada siapapun.
Dengan demikian, bukanlah Tuhan dan bukan jugalah Penguasa dan pemilik utama yang harus ditaati ketentuan-ketentuan dan perintahnya, selain Allah Rabul-alamin itu. Maka yang beriman dan yang kufur atau menentang pernyataan ini, berdasarkan kefahaman dan pengertian sebagimana mestinya. Begitupun terhadap kedua patah kata, iaitu il-Ibadah dan ad-Din yang tidak asing bagi orang Arab zaman dahulu itu.
Mereka tahu apa arti ‘abdun itu dan apa yang harus dilakukan olehnya. Apa arti ‘ibadah dan apa latar-belakangnya serta gerangan apa yang tersimbol dalam kedua patah kata atau istilah tadi. Kerananya, mereka tidak akan salah faham kalau diperintah untuk beribadah kepada Allah dan mengenepikan si taghut. Dalam pada itu, mereka harus meninggalkan cara hidup mereka dan menunggu cara hidup baru yang akan diserukan kemudian.
Kemudian zaman berganti, dan generasi-generasi pun berganti sekali, dengan demikian kefahaman tentang keempat istilah dalam al-Quran itu, berubah. Erti atau maksud yang sedemikian luas dan gambelang menurut bahasa Arab yang sesungguhnya, berubah menjadi sempit dan kabur. Erti yang terkenal oleh bangsa Arab pada masa wahyu Ilahi itu bergema, lambat-laun berubah, terisulir dan terbatas dengan berbagai-bagai dalih dan tafsir yang kabur. Ini disebahkan dua faktor:
(1)    Ketidak-murninya bahasa Arab dan keringnya sumber kreasi di kalangan muslimin sendiri sejak beberapa abad.
(2)    Generasi-generasi yang menerima waris Islam, tidak diwarisi pengertian tentang keempat istilah itu, sebagaimana dimengerti oleh nenek-moyang mereka, kaum jahiliah yang begitu luas pengertian mereka tentang bahasa Arab itu.
Karena dua faktor itulah, maka ahli bahasa Arab dan ahli Agama Islam menafsirkan kebanyakan kata-kata dalam al-Quran menurut kefahaman kaum mutaakhir, tidak menurut kefahaman kaum jahiliah yang luas dan murni itu. Sebagai contoh:

Ø  Kata al-llah, disenyawakan dengan kata patung-patung berhala dan sebagainya.
Ø  Kata ar-Rahb. disenyawakan dengan kata pemelihara, pendidik dan sebagainya.
Ø  Kata ad- Din, disenyawakan dengan kata religion.
Ø  Taghut, disenyawakan dengan syaitan atau berhala.
Penafsiran dan pengertian tersebut, menyulitkan orang mencapai tujuan dan maksud al-Quran yang sebenarnya. Apabila al-Quran melarang mempertuhankan selain Allah, maka yang ditinggalkan hanyalah patung-patung berhala. Dengan demikian yakinlah mereka telah mentaati larangan al-Quran itu. Padahal mereka masih mempertuhan lain-lainnya – kecuali patung-patung berhala dalam ertikata taghut yang luas itu.
Apabila diperingatkan al-Quran, bahwa Allah adalah ar-Rabb, disambut dengan pernyataan bahwa tidak pernah terlintas di benak kami untuk menganggap siapapun sebagai pemelihara dan penjamin keinginan kami selain Allah s.w.t, Dengan demikian menurut kefahaman mereka telah memenuhi tuntutan tauhid itu. Akan tetapi kenyataannya, banyak di antara mereka tunduk pada Rububiyah (Ketuhanan) yang lain bila ditinjau dari sudut yang lain daripada arti Pengasuh, Pemelihara dan Penjamin.
Apabila diseru al-Quran, “Sembahlah Allah dan tinggalkanlah taghut itu”, maka sambutan mereka ialah, kami tidak menyembah berhala, dan mengutuk si syaitan. Yang kami sembah hanyalah Allah dengan khusyu’. Dengan demikian mereka yakin telah melaksanakan seruan al-Quran tadi. Padahal mereka menggantungkan diri dan nasib pada banyak taghut yang tidak berbentuk batu atau kayu pahatan (berhala).
Begitu juga faham kebanyakan orang tentang ad-Din. Mereka mengaku sebagai muslim, menunaikan lima rukun Islam dan percaya terhadap keenam rukun Iman. Akan tetapi, apabila diteliti akan nyatalah bahawa kebanyakan mereka tidak mengikhlaskan diri untuk Allah dalam melaksanakan tuntutan Islam sebagai Dinullah yang luas artinya itu.




Pengertian Khalifah

            Makna dasar kata khalifah adalah bahwa tiap-tiap manusia yang hidup di muka bumi tanpa membedakan jenis kelamin, ras, agama maupun golongan sosial tertentu merupakan wakil Allah untuk menjalankan beberapa tanggung jawab sebagai manusia yang terlanjur menerima
amanah menjadi khalifah Allah (wakil Allah) guna merealisasikan kebaikan dan menghindarkan kemungkaran di alam semesta dengan senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan dirinya di jalan Allah. Pengertian ini memberikan pengetahuan bahwa masing-masing
manusia punya tanggung jawab yang sama dalam menjaga bumi beserta isinya dengan instrumen akal, karenanya khalifah dituntut untuk mededikasikan dirinya menuju ridha Allah.

          Dikalangan intelektual muslim istilah khilāfah dalam kaitan fiqih siyasah disinonimkan dengan kata imāmah dalam arti melestarikan agama dan menjalankan politik praktis. Ţabari menyamakan fungsi khalifah dengan sulţan a’dham (kekuasaan paling tinggi) yaitu sebagai
kepala pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk mengatur  urusan dunia. Dalam negara modern term ini populer dengan sebutan presiden, sekalipun fungsinya mengalami pergeseran.
Menurut Ibnu Khaldun istilah imāmah dan khīlafah sama dalam subtansi maknanya yaitu pemimpin umat guna menegakkan kebaikan dan menghilangkan kemudharatan.

          Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum syara'. Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan menjadi milik umat, di mana dalam hal ini umat mewakilkan kepada seseorang untuk melaksanakan urusan tersebut sebagai wakilnya. Bahkan Allah juga telah mewajibkan kepada umat untuk menerapkan hukum syara' secara keseluruhan.

          Dengan demikian, khalifah hanyalah orang yang diangkat oleh kaum muslimin. Karena itu, faktanya adalah bahwa khalifah merupakan wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum syara'. Oleh karena itu, tidak ada seorang khalifah pun kecuali setelah ia dibai'at oleh umat. Maka, bai'at umat kepada khalifah dengan kekhilafahannya itu telah menjadikan khalifah sebagai wakilnya, dan pengangkatan jabatan khilafah untuk seorang khalifah dengan bai'at itu berarti telah memberikan kekuasaan kepada khalifah, sehingga umat wajib untuk mentaatinya.

            Orang yang memimpin urusan kaum muslimin tidak bisa disebut khalifah, kecuali setelah ia dibai'at oleh umat dengan bai'at in'iqad (bai'at pengangkatan) secara syar'i, dengan ridla dan bebas memilih, di mana khalifah memiliki syarat-syarat in'iqadul khilafah (pengangkatan untuk menduduki kekhilafahan). Setelah pengangkatan khilafah dinyatakan sah bagi seorang khalifah, maka ia harus segera menerapkan hukum-hukum syara'.


Referensi :
Al-Maraghi. (t.t.). Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Naisaburi. (1994). al-Wasith fi Alquran al-Majid. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al-Sayuthi dan al-Mahalli. (t.t.) Tafsir Alquran al-‘Azhim. Surabaya: al-Hidayah.
Al-Thabathaba’i. (1972). al-Mizan fi Tafsir Alquran. Qum: al-Isma’iliyah.
Asy’ari, Musa. (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Alquran. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
Al-Syathi’, A’isyah Abdurrahman Bint. (1966). al-Maqal fi al-Insan Dirasah Qur’ aniyah. Mesir: Dar al-Ma’arif.

MENGUAK ISU KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM


1. Iftitah
Salah satu fenomena yang tengah kita rasakan saat ini adalah isu "Kesetaraan Gender". Perempuan di masa lalu sangatlah berbeda dengan zaman era globalisasi seperti sekarang ini. Kita harus mengakui bahwa datangnya agama Islam telah mengangkat derajat kaum wanita dan menempatkan posisinya dengan mulia. Perempuan di mata Islam mempunyai titik-titik kesamaan dengan pria. Disamping itu juga memiliki perbedaan yang semua sesuai dengan fitrah (penciptaan manusia).
Munculnya gerakan feminisme atau gerakan emansipasi wanita mulanya tumbuh di Barat abad ke-18. Feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum pria dan wanita.
2. Sekilas menggali makna Gender
Kata “Gender” seringkali dimaknai salah dengan pengertian "jenis kelamin" seperti halnya seks, sebetulnya arti itu kurang tepat. Secara terminologi, Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial dan budaya. Gender juga sering berargumen bahwa tidak ada manusia yang diberi status hak istimewa atas dasar jenis kelamin, yang menjadi dasar adalah kemampuan.
Terbentuknya Gender Differences (perbedaan gender) dikarenakan oleh beberapa hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan konstruksi secara sosial/kultural melalui ajaran agama atau Negara. Perbedaan gender tersebut ternyata mengantarkan ketidakadilan gender. Nah, ketidakadilan yang dilahirkan oleh perbedaan gender inilah sesungguhnya yang sedang digugat.
Dalam Islam sendiri tidak pernah mentolerir adanya perbedaan/perlakuan diskriminasi diantara umat manusia. Adapun prinsip kesetaraan tersebut adalah :
1)      Perempuan dan Laki-laki sama sebagai hamba Allah
2)      Perempuan dan laki-laki sebagai khalifah di bumi
3)      Perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi dalam meraih prestasi Tapi, mengapa muncul ketidakadilan terhadap perempuan dengan dalil Agama? Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
Ø  Keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan dianggap sebagai makhluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki. Karenanya keberadaan perempuan sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.
Ø  Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) dari syurga, bahkan lebih jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka.
           Al-Qur’an sendiri tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Allah laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan mereka. Namun diantara keduanya ada batasan-batasan yang tidak semua wanita bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki, begitu juga sebaliknya. Islam tidak melarang wanita bekerja, Islam juga mengharuskan wanita untuk mencari ilmu sama dengan kewajiban laki-laki. Yang tentunya harus sesuai dengan kodratnya dan tidak bertentangan dengan larangan Allah dan Rasul-Nya.
Begitu juga seorang wanita berhak untuk dipilih dan memilih dalam perpolitikan. Mereka juga berhak untuk bergerak dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya.
Sama halnya dalam konsep kepemimpinan (Qawwamah) pria atas wanita.
           Sebagaimana Firman Allah dalam QS.An-Nisa’ 34 : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Ayat di atas menerangkan bahwa keutamaan pria atas wanita dilihat dari satu sisi khusus, sehingga pria mampu dalam hal kepemimpinan dan hal ini bukanlah sebuah keutamaan mutlak. Karena di sisi lain, wanita mempunyai keutamaan yang lain. Dalam Syariat Islam banyak rukhsah atau kemudahan bagi wanita. Hal ini bukan berarti menunjukkan rendahnya kedudukan perempuan. Karena hal ini ditujukan semata-mata untuk menjalankan perintah dan ketaatan kepada-Nya.

           Sebenarnya, persamaan ini memang ada dalam Islam,tetapi tidak sama dengan persamaan yang dipersepsikan oleh orang-orang Barat. Karena persamaan Gender dalam Islam adalah penghormatan terhadap kaum wanita, yang lebih dikenal dengan taklif syar’i. Dan inilah hakekat persamaan dalam Islam. Sebagaimana tercantum dalam QS.At-Taubah : 71
Artinya: ”Dan orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagaimana mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat Alaoh, sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.
           Ayat ini menjelaskan bahwa adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, tetapi bukan berarti persamaan secara mutlak. Dan tentunya harus sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist serta tidak mengekor pada budaya-budaya Barat yang jelas-jelas melenceng dari Al-Qur’an dan Hadist.