Pengertian
Basyar
Bila dilihat secara keseluruhan ayat-ayat Al-Quran
yang mengungkapkan tentang kata basyar, semuanya menunjukkan pada gejala umum
yang nampak pada fisiknya, atau lahiriahnya, yang secara umum antara satu
dengan yang lainnya mempunyai persamaan, terutama anatomi-anatomi yang tampak
kelihatan oleh yang lain. Meskipun ada perbedaan, tetapi perbedaan itu tidak
menyangkut hal-hal yang substansial, namun hanya menyangkut masalah-masalah
kecil yang tidak banyak mempengaruhi terhadap fungsi dan eksistensinya selaku manusia.
Dengan melihat pada konteks penggunaan kata basyar
dalam Alquran tersebut, maka dapat ditarik pengertian bahwa kata basyar
menunjukkan pengertian manusia dalam kaitannya yang melibatkan tubuhnya, yang
tampak pada luarnya, yang bergerak dan berjalan-jalan. Manusia secara fisik
tubuh kuat karena makan dan minum dari apa yang ada di bumi ini, sehingga
memungkinkan manusia mempunyai kekuatan untuk mewujudkan gagasan-gagasannya
dalam ruang dan waktu tertentu.
Pengertian basyar, tidak lain adalah manusia dalam
kehidupannya sehari-hari, yang berhubungan dengan aktivitas lahiriah, yang
tentunya dipengaruhi dan mendapatkan dorongan kodrat alamiahnnya, seperti
makanan, minuman, bersetubuh dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya.
Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan sesuatu yang berhubungan dengan
lahiriah, dimana kegunaannya untuk melanggengkan eksistensi tubuh/diri manusia
itu sendiri.
Oleh karenanya, melalui aktivitas basyariahnya,
yaitu aktivitas tubuhnya, maka gagasan dan pemikiran manusia dapat diwujudkan
dalam bentuk konkrit, yaitu bentuk-bentuk sebagai hasil karya dan cipta
manusia, yang menempati ruang tertentu, dapat diraba dan difoto, seperti
lukisan, tari-tarian dan kegiatan mengolah besi pada industri logam maupun
menggali pertambangan atau membuat bangunan.
Kalau dihubungkan dengan pemakaian kata insan, maka
basyar jelas menunjukkan konteks yang berbeda, meskipun sama-sama menunjukkan
pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan, adalah manusia yang berakal
yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal,
sementara kata basyar menun-jukkan manusia sebagai subyek kebudayaan dalam
pengertian material seperti yang tampak pada aktivitas fisiknya (Asy’ari, 1992:
34)
Kata insan dan basyar yang dipakai dalam Alquran
untuk sebutan manusia, bukan berarti menunjukkan adanya dua jenis manusia, akan
tetapi kata insan dan ba-syar pada dasarnya menunjuk pada manusia yang tunggal
dengan bi-dimensionalnya (dua dimensi), dimensi insan pada kapasitas akalnya
dan dimensi basyar pada ka-pasitas tindakannya. Oleh karenanya, dalam kehidupan
sehari-hari, kedua sisi gagasan – pemikiran dan kesadaran – dan tindakan hampir
tidak bisa dipisahkan, dan jika karena sesuatu hal gagasan dan tindakan itu
dipisahkan, maka terlihat manusia berada dalam konflik kepribadian. Kepribadian
yang berada dalam konflik tersebut, seringkali disebut pribadi yang tak
seimbang atau berkepribadian ganda, sehingga menimbulkan tindakan yang tidak
bertanggung jawab dan sia-sia.
Dalam lapangan etika, makna sebuah tindakan ditentukan
oleh kesatuannya dengan akal, karena tindakan yang lahir dari gagasan akal
adalah tindakan yang sudah diperhitungkan akibat-akibatnya dan dengan
sendirinya juga kesediaan memikul tanggungjawab dan menerima sanksi etika
bahkan hukum. Sebaliknya, tindakan yang terlepas dari gagasan akalnya, seperti
gerak reflektif, menggaruk karena gatal atau tindakan yang muncul karena
pikirannya tidak bekerja seperti orang gila atau tidak sadar, maka tindakannya
tidak bisa dinilai dari sudut etika.
Kata basyar dipakai dalam Alquran sangat terbatas,
antara lain untuk menunjukkan manusia pada umumnya seperti yang tampak pada
fisiknya yang bergantung sepenuhnya pada makan dan minum dari apa yang ada di
bumi (Alquran Surat 23: 33). Dengan melihat konteks penggunaan kata basyar
dalam Alquran, maka dapat disimpulkan bahwa sebetulnya kata basyar menunjukkan
pengertian manusia dalam hubungannya dengan perbuatan yang melibatkan tubuhnya,
yang tampak pada luarnya, yang bergerak dan berjalan-jalan.
Manusia secara fisik tumbuh kuat karena makan dan
minum dari apa yang ada di bumi ini, sehingga manusia mempunyai kekuatan untuk
merealisasikan kehendak dan keinginannya. Maka bila diteliti dari arah ini,
sebetulnya manusia merupakan bagian dari alam materi, dan oleh karena itu ia
tunduk dan patuh pada kehendak dan hukum-hukum alam atau sunnatullah.
Pengertian Abdun
barangsiapa ingin memperdalam pengetahuan dan fahamnya
tentang isi al-Quran itu, hendaknya lebih dahulu faham benar erti dan maksud
keempat istilah tersebut. Dan barangsiapa belum faham akan difinisi alllah,
ar-Rabb, al-lbadah dan ad-din itu, maka dia akan menganggap al-Quran itu
sebagai buku cerita dari manusia zaman dahulu. Kerananya, sulit baginya untuk
melaksanakan Dinul-Lah (agama Allah) itu. Mustahil baginya menjunjung tinggi
Kalimatullah. Ini semua, disebabkan kekaburan fahamnya, kerapuhan aqidah dan
imannya, kendatipun dia percaya terhadap Allah dan Rasul-rasulNya,
Percaya terhadap para Malaikat dan kitab-kitab suciNya,
percaya terhadap hari kiamat dan terhadap Qadha dan QadarNya. Selain itu, dia
pun tidak meninggalkan solat lima waktu setiap hari dan rukun-rukun Islam yang
lain, serta tidak lupa bahkan selalu berzikir, bertasbih, bertahmid dan
bertakbir. Akan tetapi, kerana kabur pandangannya tentang tauhid, maka tanpa
sadar dia memperbanyak tuhan, memperbanyak ilah dan rabb dalam kelakuannya
sehari-hari. Ia terumbang-ambing oleh situasi dan terkendalikan oleh hawa nafsu
dan emosi, serakah, dengki dan lain-lain sikap yang tak terpuji.
Tanpa sadar, bahwa
dia telah melanggar batas-batas tauhid dan terjerumus ke dalam jurang
kemusyrikan. Dan alangkah marah meradangnya, sekiranya anda tegur, bahwa dia
telah keluar dari Islam, yakni murtad. Keluar dari Dinullah, atau dari
Kalimatullah karena telah mempersekutukan Allah, memperbanyak tuhan sebagai
sekutu-sekutu Allah dalam Uluhiyah dan RububiyahNya itu. Semua itu disebabkan
kekaburannya memahami erti atau maksud dari kata Ilah dan Rabb itu sebagaimana
mestinya.
Orang-orang Arab sebelum Islam dan sewaktu Islam mulai
datang, semuanya mengerti kedua istilah itu, iaitu al-Ilah dan ar-Rabb. Kedua
patah kata atau kedua istilah tersebut, mereka pergunakan dalam percakapan
sehari-hari dan pandai juga mempergunakannya. Kiranya untuk siapa diberikan.
Apabila di katakan kepada mereka, bahwa bukan Ilah dan bukan Rabb, bukan tuhan
dan bukan penguasa selain Allah, serta tiada barang satu pun atau seorang orang
pun bersekutu dengan Dia, baik dalam Uluhiyah (Ketuhanan) mahupun dalam
Rububiyah (kekuasaan atau wewenang)Nya, maka fahamlah mereka bahwa kedua
istilah tersebut adalah sebagai dua gelar atau kedudukan yang dikhususkan untuk
Allah s.w.t. Tidak boleh digelarkan ke pada siapapun.
Dengan demikian, bukanlah Tuhan dan bukan jugalah Penguasa
dan pemilik utama yang harus ditaati ketentuan-ketentuan dan perintahnya,
selain Allah Rabul-alamin itu. Maka yang beriman dan yang kufur atau menentang
pernyataan ini, berdasarkan kefahaman dan pengertian sebagimana mestinya. Begitupun
terhadap kedua patah kata, iaitu il-Ibadah dan ad-Din yang tidak asing bagi
orang Arab zaman dahulu itu.
Mereka tahu apa arti ‘abdun itu dan apa yang harus dilakukan
olehnya. Apa arti ‘ibadah dan apa latar-belakangnya serta gerangan apa yang
tersimbol dalam kedua patah kata atau istilah tadi. Kerananya, mereka tidak
akan salah faham kalau diperintah untuk beribadah kepada Allah dan mengenepikan
si taghut. Dalam pada itu, mereka harus meninggalkan cara hidup mereka dan
menunggu cara hidup baru yang akan diserukan kemudian.
Kemudian zaman berganti, dan generasi-generasi pun berganti
sekali, dengan demikian kefahaman tentang keempat istilah dalam al-Quran itu,
berubah. Erti atau maksud yang sedemikian luas dan gambelang menurut bahasa
Arab yang sesungguhnya, berubah menjadi sempit dan kabur. Erti yang terkenal
oleh bangsa Arab pada masa wahyu Ilahi itu bergema, lambat-laun berubah,
terisulir dan terbatas dengan berbagai-bagai dalih dan tafsir yang kabur. Ini
disebahkan dua faktor:
(1) Ketidak-murninya bahasa Arab dan
keringnya sumber kreasi di kalangan muslimin sendiri sejak beberapa abad.
(2) Generasi-generasi yang menerima
waris Islam, tidak diwarisi pengertian tentang keempat istilah itu, sebagaimana
dimengerti oleh nenek-moyang mereka, kaum jahiliah yang begitu luas pengertian
mereka tentang bahasa Arab itu.
Karena dua faktor itulah, maka ahli bahasa Arab dan ahli
Agama Islam menafsirkan kebanyakan kata-kata dalam al-Quran menurut kefahaman
kaum mutaakhir, tidak menurut kefahaman kaum jahiliah yang luas dan murni itu.
Sebagai contoh:
Ø Kata al-llah, disenyawakan dengan
kata patung-patung berhala dan sebagainya.
Ø Kata ar-Rahb. disenyawakan dengan
kata pemelihara, pendidik dan sebagainya.
Ø Kata ad- Din, disenyawakan dengan
kata religion.
Ø Taghut, disenyawakan dengan syaitan
atau berhala.
Penafsiran dan pengertian tersebut, menyulitkan orang
mencapai tujuan dan maksud al-Quran yang sebenarnya. Apabila al-Quran melarang
mempertuhankan selain Allah, maka yang ditinggalkan hanyalah patung-patung
berhala. Dengan demikian yakinlah mereka telah mentaati larangan al-Quran itu.
Padahal mereka masih mempertuhan lain-lainnya – kecuali patung-patung berhala
dalam ertikata taghut yang luas itu.
Apabila diperingatkan al-Quran, bahwa Allah adalah ar-Rabb,
disambut dengan pernyataan bahwa tidak pernah terlintas di benak kami untuk
menganggap siapapun sebagai pemelihara dan penjamin keinginan kami selain Allah
s.w.t, Dengan demikian menurut kefahaman mereka telah memenuhi tuntutan tauhid
itu. Akan tetapi kenyataannya, banyak di antara mereka tunduk pada Rububiyah
(Ketuhanan) yang lain bila ditinjau dari sudut yang lain daripada arti
Pengasuh, Pemelihara dan Penjamin.
Apabila diseru al-Quran, “Sembahlah Allah dan tinggalkanlah
taghut itu”, maka sambutan mereka ialah, kami tidak menyembah berhala, dan
mengutuk si syaitan. Yang kami sembah hanyalah Allah dengan khusyu’. Dengan
demikian mereka yakin telah melaksanakan seruan al-Quran tadi. Padahal mereka
menggantungkan diri dan nasib pada banyak taghut yang tidak berbentuk batu atau
kayu pahatan (berhala).
Begitu juga faham kebanyakan orang tentang ad-Din. Mereka
mengaku sebagai muslim, menunaikan lima rukun Islam dan percaya terhadap keenam
rukun Iman. Akan tetapi, apabila diteliti akan nyatalah bahawa kebanyakan
mereka tidak mengikhlaskan diri untuk Allah dalam melaksanakan tuntutan Islam
sebagai Dinullah yang luas artinya itu.
Pengertian Khalifah
Makna dasar
kata khalifah adalah bahwa tiap-tiap manusia yang hidup di muka bumi tanpa
membedakan jenis kelamin, ras, agama maupun golongan sosial tertentu merupakan
wakil Allah untuk menjalankan beberapa tanggung jawab sebagai manusia yang
terlanjur menerima
amanah menjadi khalifah Allah (wakil Allah) guna merealisasikan kebaikan dan
menghindarkan kemungkaran di alam semesta dengan senantiasa patuh dan
terpanggil untuk mengabdikan dirinya di jalan Allah. Pengertian ini memberikan
pengetahuan bahwa masing-masing
manusia punya tanggung jawab yang sama dalam menjaga bumi beserta isinya dengan
instrumen akal, karenanya khalifah dituntut untuk mededikasikan dirinya menuju
ridha Allah.
Dikalangan
intelektual muslim istilah khilāfah dalam kaitan fiqih siyasah disinonimkan
dengan kata imāmah dalam arti melestarikan agama dan menjalankan politik
praktis. Ţabari menyamakan fungsi khalifah dengan sulţan a’dham (kekuasaan
paling tinggi) yaitu sebagai
kepala pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk mengatur urusan dunia. Dalam negara modern term ini
populer dengan sebutan presiden, sekalipun fungsinya mengalami pergeseran.
Menurut Ibnu Khaldun istilah imāmah dan khīlafah sama dalam subtansi maknanya
yaitu pemimpin umat guna menegakkan kebaikan dan menghilangkan kemudharatan.
Khalifah
adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta
dalam menerapkan hukum-hukum syara'. Islam telah menjadikan pemerintahan dan
kekuasaan menjadi milik umat, di mana dalam hal ini umat mewakilkan kepada
seseorang untuk melaksanakan urusan tersebut sebagai wakilnya. Bahkan Allah
juga telah mewajibkan kepada umat untuk menerapkan hukum syara' secara
keseluruhan.
Dengan
demikian, khalifah hanyalah orang yang diangkat oleh kaum muslimin. Karena itu,
faktanya adalah bahwa khalifah merupakan wakil umat dalam masalah pemerintahan
dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum syara'. Oleh karena itu, tidak ada
seorang khalifah pun kecuali setelah ia dibai'at oleh umat. Maka, bai'at umat
kepada khalifah dengan kekhilafahannya itu telah menjadikan khalifah sebagai
wakilnya, dan pengangkatan jabatan khilafah untuk seorang khalifah dengan
bai'at itu berarti telah memberikan kekuasaan kepada khalifah, sehingga umat wajib
untuk mentaatinya.
Orang
yang memimpin urusan kaum muslimin tidak bisa disebut khalifah, kecuali setelah
ia dibai'at oleh umat dengan bai'at in'iqad (bai'at pengangkatan) secara
syar'i, dengan ridla dan bebas memilih, di mana khalifah memiliki syarat-syarat
in'iqadul khilafah (pengangkatan untuk menduduki kekhilafahan). Setelah
pengangkatan khilafah dinyatakan sah bagi seorang khalifah, maka ia harus
segera menerapkan hukum-hukum syara'.
Referensi :
Al-Maraghi.
(t.t.). Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Naisaburi.
(1994). al-Wasith fi Alquran al-Majid. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al-Sayuthi
dan al-Mahalli. (t.t.) Tafsir Alquran al-‘Azhim. Surabaya: al-Hidayah.
Al-Thabathaba’i. (1972). al-Mizan fi Tafsir Alquran. Qum:
al-Isma’iliyah.
Asy’ari,
Musa. (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Alquran. Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat Islam.
Al-Syathi’,
A’isyah Abdurrahman Bint. (1966). al-Maqal fi al-Insan Dirasah Qur’ aniyah.
Mesir: Dar al-Ma’arif.