Selasa, 04 Desember 2012

Memahami Basyar, Abdun dan Khalifah



Pengertian Basyar
Bila dilihat secara keseluruhan ayat-ayat Al-Quran yang mengungkapkan tentang kata basyar, semuanya menunjukkan pada gejala umum yang nampak pada fisiknya, atau lahiriahnya, yang secara umum antara satu dengan yang lainnya mempunyai persamaan, terutama anatomi-anatomi yang tampak kelihatan oleh yang lain. Meskipun ada perbedaan, tetapi perbedaan itu tidak menyangkut hal-hal yang substansial, namun hanya menyangkut masalah-masalah kecil yang tidak banyak mempengaruhi terhadap fungsi dan eksistensinya selaku manusia.
Dengan melihat pada konteks penggunaan kata basyar dalam Alquran tersebut, maka dapat ditarik pengertian bahwa kata basyar menunjukkan pengertian manusia dalam kaitannya yang melibatkan tubuhnya, yang tampak pada luarnya, yang bergerak dan berjalan-jalan. Manusia secara fisik tubuh kuat karena makan dan minum dari apa yang ada di bumi ini, sehingga memungkinkan manusia mempunyai kekuatan untuk mewujudkan gagasan-gagasannya dalam ruang dan waktu tertentu.
Pengertian basyar, tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari, yang berhubungan dengan aktivitas lahiriah, yang tentunya dipengaruhi dan mendapatkan dorongan kodrat alamiahnnya, seperti makanan, minuman, bersetubuh dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan sesuatu yang berhubungan dengan lahiriah, dimana kegunaannya untuk melanggengkan eksistensi tubuh/diri manusia itu sendiri.
Oleh karenanya, melalui aktivitas basyariahnya, yaitu aktivitas tubuhnya, maka gagasan dan pemikiran manusia dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, yaitu bentuk-bentuk sebagai hasil karya dan cipta manusia, yang menempati ruang tertentu, dapat diraba dan difoto, seperti lukisan, tari-tarian dan kegiatan mengolah besi pada industri logam maupun menggali pertambangan atau membuat bangunan.
Kalau dihubungkan dengan pemakaian kata insan, maka basyar jelas menunjukkan konteks yang berbeda, meskipun sama-sama menunjukkan pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan, adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sementara kata basyar menun-jukkan manusia sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang tampak pada aktivitas fisiknya (Asy’ari, 1992: 34)
Kata insan dan basyar yang dipakai dalam Alquran untuk sebutan manusia, bukan berarti menunjukkan adanya dua jenis manusia, akan tetapi kata insan dan ba-syar pada dasarnya menunjuk pada manusia yang tunggal dengan bi-dimensionalnya (dua dimensi), dimensi insan pada kapasitas akalnya dan dimensi basyar pada ka-pasitas tindakannya. Oleh karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, kedua sisi gagasan – pemikiran dan kesadaran – dan tindakan hampir tidak bisa dipisahkan, dan jika karena sesuatu hal gagasan dan tindakan itu dipisahkan, maka terlihat manusia berada dalam konflik kepribadian. Kepribadian yang berada dalam konflik tersebut, seringkali disebut pribadi yang tak seimbang atau berkepribadian ganda, sehingga menimbulkan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan sia-sia.
Dalam lapangan etika, makna sebuah tindakan ditentukan oleh kesatuannya dengan akal, karena tindakan yang lahir dari gagasan akal adalah tindakan yang sudah diperhitungkan akibat-akibatnya dan dengan sendirinya juga kesediaan memikul tanggungjawab dan menerima sanksi etika bahkan hukum. Sebaliknya, tindakan yang terlepas dari gagasan akalnya, seperti gerak reflektif, menggaruk karena gatal atau tindakan yang muncul karena pikirannya tidak bekerja seperti orang gila atau tidak sadar, maka tindakannya tidak bisa dinilai dari sudut etika.
Kata basyar dipakai dalam Alquran sangat terbatas, antara lain untuk menunjukkan manusia pada umumnya seperti yang tampak pada fisiknya yang bergantung sepenuhnya pada makan dan minum dari apa yang ada di bumi (Alquran Surat 23: 33). Dengan melihat konteks penggunaan kata basyar dalam Alquran, maka dapat disimpulkan bahwa sebetulnya kata basyar menunjukkan pengertian manusia dalam hubungannya dengan perbuatan yang melibatkan tubuhnya, yang tampak pada luarnya, yang bergerak dan berjalan-jalan.
Manusia secara fisik tumbuh kuat karena makan dan minum dari apa yang ada di bumi ini, sehingga manusia mempunyai kekuatan untuk merealisasikan kehendak dan keinginannya. Maka bila diteliti dari arah ini, sebetulnya manusia merupakan bagian dari alam materi, dan oleh karena itu ia tunduk dan patuh pada kehendak dan hukum-hukum alam atau sunnatullah.



Pengertian Abdun
barangsiapa ingin memperdalam pengetahuan dan fahamnya tentang isi al-Quran itu, hendaknya lebih dahulu faham benar erti dan maksud keempat istilah tersebut. Dan barangsiapa belum faham akan difinisi alllah, ar-Rabb, al-lbadah dan ad-din itu, maka dia akan menganggap al-Quran itu sebagai buku cerita dari manusia zaman dahulu. Kerananya, sulit baginya untuk melaksanakan Dinul-Lah (agama Allah) itu. Mustahil baginya menjunjung tinggi Kalimatullah. Ini semua, disebabkan kekaburan fahamnya, kerapuhan aqidah dan imannya, kendatipun dia percaya terhadap Allah dan Rasul-rasulNya,
Percaya terhadap para Malaikat dan kitab-kitab suciNya, percaya terhadap hari kiamat dan terhadap Qadha dan QadarNya. Selain itu, dia pun tidak meninggalkan solat lima waktu setiap hari dan rukun-rukun Islam yang lain, serta tidak lupa bahkan selalu berzikir, bertasbih, bertahmid dan bertakbir. Akan tetapi, kerana kabur pandangannya tentang tauhid, maka tanpa sadar dia memperbanyak tuhan, memperbanyak ilah dan rabb dalam kelakuannya sehari-hari. Ia terumbang-ambing oleh situasi dan terkendalikan oleh hawa nafsu dan emosi, serakah, dengki dan lain-lain sikap yang tak terpuji.
 Tanpa sadar, bahwa dia telah melanggar batas-batas tauhid dan terjerumus ke dalam jurang kemusyrikan. Dan alangkah marah meradangnya, sekiranya anda tegur, bahwa dia telah keluar dari Islam, yakni murtad. Keluar dari Dinullah, atau dari Kalimatullah karena telah mempersekutukan Allah, memperbanyak tuhan sebagai sekutu-sekutu Allah dalam Uluhiyah dan RububiyahNya itu. Semua itu disebabkan kekaburannya memahami erti atau maksud dari kata Ilah dan Rabb itu sebagaimana mestinya.
Orang-orang Arab sebelum Islam dan sewaktu Islam mulai datang, semuanya mengerti kedua istilah itu, iaitu al-Ilah dan ar-Rabb. Kedua patah kata atau kedua istilah tersebut, mereka pergunakan dalam percakapan sehari-hari dan pandai juga mempergunakannya. Kiranya untuk siapa diberikan. Apabila di katakan kepada mereka, bahwa bukan Ilah dan bukan Rabb, bukan tuhan dan bukan penguasa selain Allah, serta tiada barang satu pun atau seorang orang pun bersekutu dengan Dia, baik dalam Uluhiyah (Ketuhanan) mahupun dalam Rububiyah (kekuasaan atau wewenang)Nya, maka fahamlah mereka bahwa kedua istilah tersebut adalah sebagai dua gelar atau kedudukan yang dikhususkan untuk Allah s.w.t. Tidak boleh digelarkan ke pada siapapun.
Dengan demikian, bukanlah Tuhan dan bukan jugalah Penguasa dan pemilik utama yang harus ditaati ketentuan-ketentuan dan perintahnya, selain Allah Rabul-alamin itu. Maka yang beriman dan yang kufur atau menentang pernyataan ini, berdasarkan kefahaman dan pengertian sebagimana mestinya. Begitupun terhadap kedua patah kata, iaitu il-Ibadah dan ad-Din yang tidak asing bagi orang Arab zaman dahulu itu.
Mereka tahu apa arti ‘abdun itu dan apa yang harus dilakukan olehnya. Apa arti ‘ibadah dan apa latar-belakangnya serta gerangan apa yang tersimbol dalam kedua patah kata atau istilah tadi. Kerananya, mereka tidak akan salah faham kalau diperintah untuk beribadah kepada Allah dan mengenepikan si taghut. Dalam pada itu, mereka harus meninggalkan cara hidup mereka dan menunggu cara hidup baru yang akan diserukan kemudian.
Kemudian zaman berganti, dan generasi-generasi pun berganti sekali, dengan demikian kefahaman tentang keempat istilah dalam al-Quran itu, berubah. Erti atau maksud yang sedemikian luas dan gambelang menurut bahasa Arab yang sesungguhnya, berubah menjadi sempit dan kabur. Erti yang terkenal oleh bangsa Arab pada masa wahyu Ilahi itu bergema, lambat-laun berubah, terisulir dan terbatas dengan berbagai-bagai dalih dan tafsir yang kabur. Ini disebahkan dua faktor:
(1)    Ketidak-murninya bahasa Arab dan keringnya sumber kreasi di kalangan muslimin sendiri sejak beberapa abad.
(2)    Generasi-generasi yang menerima waris Islam, tidak diwarisi pengertian tentang keempat istilah itu, sebagaimana dimengerti oleh nenek-moyang mereka, kaum jahiliah yang begitu luas pengertian mereka tentang bahasa Arab itu.
Karena dua faktor itulah, maka ahli bahasa Arab dan ahli Agama Islam menafsirkan kebanyakan kata-kata dalam al-Quran menurut kefahaman kaum mutaakhir, tidak menurut kefahaman kaum jahiliah yang luas dan murni itu. Sebagai contoh:

Ø  Kata al-llah, disenyawakan dengan kata patung-patung berhala dan sebagainya.
Ø  Kata ar-Rahb. disenyawakan dengan kata pemelihara, pendidik dan sebagainya.
Ø  Kata ad- Din, disenyawakan dengan kata religion.
Ø  Taghut, disenyawakan dengan syaitan atau berhala.
Penafsiran dan pengertian tersebut, menyulitkan orang mencapai tujuan dan maksud al-Quran yang sebenarnya. Apabila al-Quran melarang mempertuhankan selain Allah, maka yang ditinggalkan hanyalah patung-patung berhala. Dengan demikian yakinlah mereka telah mentaati larangan al-Quran itu. Padahal mereka masih mempertuhan lain-lainnya – kecuali patung-patung berhala dalam ertikata taghut yang luas itu.
Apabila diperingatkan al-Quran, bahwa Allah adalah ar-Rabb, disambut dengan pernyataan bahwa tidak pernah terlintas di benak kami untuk menganggap siapapun sebagai pemelihara dan penjamin keinginan kami selain Allah s.w.t, Dengan demikian menurut kefahaman mereka telah memenuhi tuntutan tauhid itu. Akan tetapi kenyataannya, banyak di antara mereka tunduk pada Rububiyah (Ketuhanan) yang lain bila ditinjau dari sudut yang lain daripada arti Pengasuh, Pemelihara dan Penjamin.
Apabila diseru al-Quran, “Sembahlah Allah dan tinggalkanlah taghut itu”, maka sambutan mereka ialah, kami tidak menyembah berhala, dan mengutuk si syaitan. Yang kami sembah hanyalah Allah dengan khusyu’. Dengan demikian mereka yakin telah melaksanakan seruan al-Quran tadi. Padahal mereka menggantungkan diri dan nasib pada banyak taghut yang tidak berbentuk batu atau kayu pahatan (berhala).
Begitu juga faham kebanyakan orang tentang ad-Din. Mereka mengaku sebagai muslim, menunaikan lima rukun Islam dan percaya terhadap keenam rukun Iman. Akan tetapi, apabila diteliti akan nyatalah bahawa kebanyakan mereka tidak mengikhlaskan diri untuk Allah dalam melaksanakan tuntutan Islam sebagai Dinullah yang luas artinya itu.




Pengertian Khalifah

            Makna dasar kata khalifah adalah bahwa tiap-tiap manusia yang hidup di muka bumi tanpa membedakan jenis kelamin, ras, agama maupun golongan sosial tertentu merupakan wakil Allah untuk menjalankan beberapa tanggung jawab sebagai manusia yang terlanjur menerima
amanah menjadi khalifah Allah (wakil Allah) guna merealisasikan kebaikan dan menghindarkan kemungkaran di alam semesta dengan senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan dirinya di jalan Allah. Pengertian ini memberikan pengetahuan bahwa masing-masing
manusia punya tanggung jawab yang sama dalam menjaga bumi beserta isinya dengan instrumen akal, karenanya khalifah dituntut untuk mededikasikan dirinya menuju ridha Allah.

          Dikalangan intelektual muslim istilah khilāfah dalam kaitan fiqih siyasah disinonimkan dengan kata imāmah dalam arti melestarikan agama dan menjalankan politik praktis. Ţabari menyamakan fungsi khalifah dengan sulţan a’dham (kekuasaan paling tinggi) yaitu sebagai
kepala pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk mengatur  urusan dunia. Dalam negara modern term ini populer dengan sebutan presiden, sekalipun fungsinya mengalami pergeseran.
Menurut Ibnu Khaldun istilah imāmah dan khīlafah sama dalam subtansi maknanya yaitu pemimpin umat guna menegakkan kebaikan dan menghilangkan kemudharatan.

          Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum syara'. Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan menjadi milik umat, di mana dalam hal ini umat mewakilkan kepada seseorang untuk melaksanakan urusan tersebut sebagai wakilnya. Bahkan Allah juga telah mewajibkan kepada umat untuk menerapkan hukum syara' secara keseluruhan.

          Dengan demikian, khalifah hanyalah orang yang diangkat oleh kaum muslimin. Karena itu, faktanya adalah bahwa khalifah merupakan wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum syara'. Oleh karena itu, tidak ada seorang khalifah pun kecuali setelah ia dibai'at oleh umat. Maka, bai'at umat kepada khalifah dengan kekhilafahannya itu telah menjadikan khalifah sebagai wakilnya, dan pengangkatan jabatan khilafah untuk seorang khalifah dengan bai'at itu berarti telah memberikan kekuasaan kepada khalifah, sehingga umat wajib untuk mentaatinya.

            Orang yang memimpin urusan kaum muslimin tidak bisa disebut khalifah, kecuali setelah ia dibai'at oleh umat dengan bai'at in'iqad (bai'at pengangkatan) secara syar'i, dengan ridla dan bebas memilih, di mana khalifah memiliki syarat-syarat in'iqadul khilafah (pengangkatan untuk menduduki kekhilafahan). Setelah pengangkatan khilafah dinyatakan sah bagi seorang khalifah, maka ia harus segera menerapkan hukum-hukum syara'.


Referensi :
Al-Maraghi. (t.t.). Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Naisaburi. (1994). al-Wasith fi Alquran al-Majid. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al-Sayuthi dan al-Mahalli. (t.t.) Tafsir Alquran al-‘Azhim. Surabaya: al-Hidayah.
Al-Thabathaba’i. (1972). al-Mizan fi Tafsir Alquran. Qum: al-Isma’iliyah.
Asy’ari, Musa. (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Alquran. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
Al-Syathi’, A’isyah Abdurrahman Bint. (1966). al-Maqal fi al-Insan Dirasah Qur’ aniyah. Mesir: Dar al-Ma’arif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar